Sering kita mendengar dan melihat di televisi pada acarainfotainment,
seorang artis mendapat somasi dari artis lain atau pihak production
house. Somasi itu intinya berisi bahwa si artis harus memenuhi kewajibannya
untuk melakukan syuting sesuai jadwal syuting yang telah disepakati. Ternyata
diketahui bahwa si artis menerima somasi dari production house-nya
karena sering mangkir dari jadwal syuting.
Ada lagi contoh, mungkin pernah terjadi pada perusahaan anda atau
perusahaan rekan anda. Perusahaan telah menerima Surat Somasi dari perusahaan
lain. Ternyata diketahui perusahaan (rekan anda) yang menerima surat somasi
tersebut tidak mengirimkan barang kepada perusahaan pemesan barang padahal si
perusahaan pemesan barang telah membayar penuh harga barang.
Sering memang kita mendengar atau bahkan melihat sendiri bentuk Surat
Somasi. Sebenarnya apa arti Surat Somasi secara Hukum, kenapa harus ada somasi
dan apa akibat hukumnya bagi para pihak baik bagi pihak pengirim Surat Somasi
maupun penerima Surat Somasi.
Somasi sering diwujudkan dalam bentuk Surat. Somasi jika terwujud dalam
bentuk Lisan sering disebut “peringatan lisan” atau hanya sering disebut
“peringatan” saja.
Somasi sering digunakan dalam lapangan Hukum Bisnis/Niaga ataupun lapangan
hukum lain yang menghendaki adanya bukti otentik dalam bentuk tulisan yaitu
Surat.
Jika berbicara mengenai Hukum Bisnis/Niaga berarti pembahasnya biasanya
tidak jauh mengenai Hukum Perusahaan.
Apakah itu somasi?
Somasi dalam bahasa Inggris disebut Legal Notice
Somasi
adalah teguran terhadap pihak calon tergugat. Tujuannya memberi kesempatan kepada
pihak calon tergugat untuk berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan
sebagaimana tuntutan pihak penggugat. Cara ini efektif untuk menyelesaikan sengketa
sebelum perkara diajukan ke pengadilan. Somasi bisa dilakukan individual atau
kolektif baik oleh kuasa hukum maupun pihak yang dirugikan (calon penggugat).
Dasar hukum somasi terdapat dalam Pasal 1238 KUHPerdata.
Pembuatan
atau perumusan somasi tidak memiliki aturan baku artinya pihak pengirim bebas
menentukan perumusan isi dari somasi, tetapi pengirim wajib menetukan secara
tegas siapa pihak yang ditujukan, masalah yang disomasikan, dan apa yang
menjadi kehendak pengirim somasi yang harus dilaksanakan oleh pihak penerima
somasi. Perlu diingat bahwa pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara
penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa
penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya
berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim
bahwa tergugat beritikad buruk).
Ada 2 cara
menyampaikan somasi :
- Disampaikan
tertulis, dengan langsung mengirimkan secara tertulis kepada pihak calon
tergugat.
- Disampaikan
terbuka, dengan cara publikasi di media masa.
Surat somasi
dalam prakteknya dapat dipakai baik dalam perkara perdata maupun pidana, namun
dalam perkara pidana somasi hanya merupakan suatu niat baik agar pihak lain
dapat memahami posisi dan pandangan/analisis hukum dari si pengirim somasi.
Somasi biasanya berisi surat teguran, himbauan, atau
panggilan dengan nada peringatan.
Surat Somasi berisi peringatan bagi pihak yang menerima somasi untuk
memenuhi kewajibannya terhadap apa yang telah disepakati bersama antara pemberi
somasi dan penerima somasi.
Karena sifatnya yang memberi peringatan inilah maka somasi harus dituangkan
dalam bentuk surat.
Surat Somasi biasanya dibuat 3 (tiga) kali dan setiap jeda waktunya adalah
biasanya minimal 7 hari. Masing-masing namanya Surat Somasi I, Surat Somasi II
dan Surat Somasi III.
Apabila setelah Surat Somasi III namun pihak yang diperingatkan tidak
menggubris untuk melaksanakan kewajibannya maka kemudian dilakukan penuntutan
hukum baik secara perdata maupun pidana atau hukum lainnya.
Jika membicarakan mengenai Somasi maka pasti ada sebab hukum yang
menyebabkan Somasi itu muncul. Somasi bukan suatu tindakan hukum aktif yang
bisa berdiri sendiri namun Somasi adalah perbuatan hukum yang bersifat reaktif
atas suatu keadaan tertentu.
Keadaan tertentu yang bagaimana yang dapat memunculkan Somasi?
Keadaan tertentu yaitu adanya suatu kewajiban yang tidak dipenuhi. Baik itu
kewajiban yang timbul baik dari Undang-undang ataupun yang timbul dari
Perjanjian. Dalam pembahasan ini kita batasi mengenai kewajban yang timbul dari
perjanjian.
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasi/kewajiban-nya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan
tanpa ada pihak yang dirugikan.
Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena
adanya ingkar janji atau wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau
debitur (pihak yang mempunyai utang/kewajiban).
Pemakaian kata Debitur adalah untuk memudahkan pemahaman. Debitur adalah
pihak yang mempunyai kewajiban/prestasi terhadap pihak lain. Sedangkan Kreditur
adalah pihak yang mempunyai hak untuk dipenuhi Pihak lain.
Seseorang dalam suatu perjanjian dapat berperan sebagai Debitur sekaligus
Kreditur. Contoh : A adalah seorang penjual Mobil dalam perjanjian Jual Beli
mobil dengan B selaku Pembeli Mobil, A dapat sebagai Debitur yaitu pihak yang
harus menyerahkan mobil kepada B jika B telah membayar harga mobil. Dalam hal
ini A pun bisa sebagai Kreditur yaitu pihak yang berhak atas pembayaran harga
mobil dari B.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda,
yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu
keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat
memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan
dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi
prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Contohnya : Debitur berkewajiban mengirimkan barang tapi ternyata Debitur
sama sekali tidak melakukan pengiriman barang.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan
pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat
waktunya.
Contoh : Debitur berkewajiban mengirim barang berupa Mobil tanggal 10
Januari 2011 ternyata Debitur baru mengirim mobil pada tanggal 11 Januari 2011.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila
prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur
dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Contoh : Debitur berkewajiban mengirim barang berupa Mobil berwarna merah
ternyata Debitur mengirim mobil warna biru.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada
empat macam yaitu:
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak
sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak
boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi
dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga
tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi
yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian
yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur
melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak
diperbolehkan dalam perjanjian.
Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang
memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka
menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan
lewatnya batas waktu tersebut.
Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan
seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis
dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut
dengan somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari
kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki
pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan
dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa:
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah
akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah
jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa
debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:
1) Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang
biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita
memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus
berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta
notaris.
3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah
menentukan saat adanya wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran
terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan
tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut
berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk
dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya
batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn), prestasi dalam perjanjian berupa
tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada
beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:
1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan
dimuka hakim.
GANTI KERUGIAN
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut
undang-undang berupa “kosten, schaden en interessen” (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan
penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah
dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda
si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen),
yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian
yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada
hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita.
Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang
sebab-akibat yaitu:
a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari
peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada
pristiwa A
b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa
lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu
menimbulkan akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah
teoriAdequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas
kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu
disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat
mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:
a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa
(overmach);
b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah
lalai;
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan
haknya untuk menuntut ganti rugi.
Keadaan Memaksa (overmach)
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak
terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi.
Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena
keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah
melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi
setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi
prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus
menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan
menimbulkan berbagai akibat yaitu:
a) Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan
prestasi;
b) Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi,
dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;
c) Resiko tidak beralih kepada debitor;
d) Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada
persetujuan timbal-balik.
Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori
obyektif dan teori subjektif:
Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat
mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang
mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidak
mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.
Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika
debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi
prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada
B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan
tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda,
sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal
ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika
menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara.
Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya,
barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah.
Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara
berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka
perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk mengirimkan suatu barang dicabut
atau barang yang hilang ditemukan kembali.
Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan
Memaksa dalam Perspektif Fiqh Muamalah
Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian,
baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam
dalam cabang fiqh muamalahnya juga mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi,
ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa, berikut ini disajikan pemikiran
salah satu ahli fiqh muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun Haroen, M.A.
Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung
oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk kelalaian itu menurut ulama, diantaranya
pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual (misal barang wadiah atau
ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian harus
diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak
diantarkan dan atau tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau
barang yang diserahkan tidak sesuai dengan contoh yang disetujui. Dalam
kasus-kasus seperti ini resikonya adalah gantirugi dari pihak yang lalai.
Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus
membayar ganti rugi terhadap harga yang telah ia terima. Apabila kelalaian
berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga tidak sesuai dengan
perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga harus
membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan
(sengaja atau tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang
disepakati maka barang tersebut harus diganti.
Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan
adh-dhaman, yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama
mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang.
Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad
yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala
kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya
oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh
Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki
perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maximal untuk
memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan
dalam pembayaran hutang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar