Pengantar
Kebebasan berekspresi
merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menompang
jalan dan bekerjanya demokrasi. Sulit membayangkan sistem demokrasi bisa
bekerja tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap, dan berekspresi.
Dalam kaitannya dengan hal ini, relevan diketengahkan disini pendapat Lord
Steyn yang menyatakan: ”Freedom of expression is, of course, intrinsically
important: it is value for its own sake. But it is well recognized that it is
also instrumentally important. It serves a number of broad objectives. First it
promotes the self-fulfillment of individuals in society. Secondly, in the famous
word of Holmes (echoing Jhon Stuart Mill), ’the best test of truth is the power
of the thought to get it itself accepted in the competition of the market’.
Thirdly, freedom of speech is the lifeblood of democracy. The free flow of
information and ideas informs political debate. It is a safety valve: people
are more ready to accept decisions that go against them if they can in
principle seek to influence them. It acts as a brake on the abuse of power by
public officials. It facilitates the exposure of errors in the governance and
administration of justice of the country.”( Dikutip dari Richard Clayton dan
Hugh Tomlinson, The Law of Human Rights (New York: Oxford University Press,
2000). Hal 1007. )
Makalah ini mencoba
melihat hak atas kebebasan berekspresi tersebut dalam kaitannya dengan delik
pencemaran nama baik (libel) dan penghinaan (insult). Apakah pengundangan dan
pemberlakuan delik-delik tersebut akan berdampak pada pengurangan atau
pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi?
Perlindungan Hak atas
Kebebasan Berekspresi
UUD 1945, Amandemen ke
II, dengan gamblang menjamin kebebasan berekspresi. Pasal 28E (ayat 2)
menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selanjutnya pada
ayat 3 ditegaskan lagi bahwa, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Jaminan konstitusional ini dielaborasi
lebih jauh dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dikatakan pada Pasal
23 (ayat 2) UU tersebut, bahwa “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan
melalui media cetak maupun media cetak eletronik dengan memperhatikan
nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan
bangsa.”
Kebebasan berekspresi
juga telah mendapat pengakuan secara universal. Pengakuan tersebut tertuang
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human
Rights) dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights). Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat; hak ini
termasuk kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tanpa ada intervensi,
dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide melalui media,
tanpa memandang batas-batas negara”. Sedangkan Pasal 19 (ayat 2) Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik merumuskannya sebagai berikut: “setiap
orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk
kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun,
terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tertulis atau bentuk
cetakan, karya seni, atau media lain sesuai dengan pilihannya”.
Selain menjamin
kebebasan berekspresi, rezim hukum hak asasi manusia juga menjamin hak induvidu
atas kehormatan atau reputasi (right to honour or reputation). Dalam
kepustakaan hak asasi manusia, soal kehormatan dan reputasi ini dimasukkan ke
dalam bagian hak-hak privasi (privacy rights). Sebagai bagian dari hak-hak
privasi, maka hak atas kehormatan atau reputasi ini harus pula mendapat
perlindungan yang setara dengan hak-hak privasi lainya. Apalagi kehormatan atau
reputasi merupakan atribut yang melekat pada setiap induvidu. Tanpa atribut
itu, maka seseorang akan kehilangan martabat atau integritasnya sebagai
manusia. Makanya hak ini dirumuskan secara negatif. Marilah kita baca salah
satu ketentuan dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yaitu
Pasal 17 (ayat 1) –yang menandaskan pentingnya jaminan perlindungan negara
terhadap hak ini, sebagai berikut: “Tidak seorangpun dapat secara
sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah pribadinya, … atau
secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.” Kemudian ditambahkan
dalam ayat berikutnya (ayat 2), bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan
hukum terhadap campur tangan atau serangan tersebut.”
Hukum nasional kita
juga memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak tersebut. Melalui
Amandemen ke-II UUD 1945, hak atas kehormatan atau reputasi ini telah pula
mendapat perlindungan konstitusionalitasnya. Lebih gamblangnya marilah kita
simak bunyi ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa: “Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, …” Begitu pula melalui undang-undang
organiknya, hak atas kehormatan dan reputasi ini mendapat penegasan lagi,
sebagaimana dikutip berikut ini: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya” (Pasal 29 ayat (1)
UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia).
Pada pundak Negaralah
terletak tanggungjawab untuk menjamin dan melindungi hak-hak tersebut.
Tanggungjawab ini dikenal dengan istilah “State Responsilibity”. Salahsatu
bentuk perlindungan Negara terhadap hak atas kehormatan atau reputasi tersebut
adalah dengan mencantumkannya ke dalam hukum pidana nasionalnya. Yaitu dengan
melakukan kriminalisasi terhadap setiap serangan atau perbuatan yang merampas
atau merusak integritas setiap orang (crimes against integrity of person).
Sebutlah mulai dari perbuatan seperti pencemaran nama baik (demafation),
penghinaan (insult), hingga kepada fitnah atau menista (libel). Semua perbuatan
ini dinyatakan sebagai tindak pidana (delik), yang antara lain, tertuang pada
Pasal 310 dan 311 KUHP, dan Pasal 316 dan 207 KUHP. Tetapi perlindungan
terhadap kehormatan dan reputasi induvidu tersebut juga harus dilihat relasinya
dengan keberadaan hak yang lain, yakni hak atas kebebasan berbicara (free
speech), berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan pers (freedom of
the press) –yang juga harus diproteksi oleh Negara sebagaimana dipaparkan di
atas. Jangan sampai kriminalisasi terhadap perbuatan yang menyerang kehormatan
dan reputasi tersebut menjadi senjata ampuh dalam menghadapi kebebasan
berbicara atau kebebasan pers.
Pembatasan-pembatasan
terhadap Kebebasan Berekspresi
Pemaparan di atas
telah menunjukkan relasi antara hak atas kebebasan bereskpresi dengan hak atas
kehormatan atau reputasi. Keduanya harus dijamin dan dilindungi oleh negara.
Dalam konteks tanggungjawabnya itu, Negara dapat melakukan ‘derogation’ dalam
bentuk pengurangan atau pembatasan terhadap kedua hak tersebut. Sebab keduanya
masuk dalam kategori ‘non-derogable rights’. Tetapi dengan izin ini bukan
berarti Negara boleh bertindak semaunya yang dapat membahayakan esensi hak.
Makanya ketentuan derogation ini dipagari dengan ketentuan ini: “Tidak satupun
ketentuan dari Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak pada
suatu Negara, kelompok atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan
untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebabasan yang diakui dalam Kovenan
ini, atau untuk membatasinya lebih daripada yang telah ditetapkan dalam Kovenan
ini” (Pasal 5 ayat (1) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik). Pembatasan dengan
demikian tidak boleh merusak perlindungan HAM secara keseluruhan.
Jadi meskipun hak-hak
tersebut dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya, pengurangan atau
pembatasannya harus dilandaskan pada: (i) dinyatakan melalui hukum (prescribed
by law); (ii) ketertiban umum (public order); (iii) kesehatan dan moral publik
(moral and public health); (iv) keamanan nasional (national security); (v)
keamanan publik (public safety); (vi) hak dan kebebasan orang lain (rights and
freedom of others); (vii) hak dan reputasi orang lain (rights and reputations
of others); dan (x) diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (necessary in a
democratic society). Ketentuan-ketentuan inilah yang menjadi prinsip
pembatasan, dan menjadi koridor yang harus dipenuhi oleh Negara. Lebih lanjut
Komentar Umum (General Comment) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik
menggarisbawahi pula: “Negara-negara Pihak harus menahan diri melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak yang diakui dalam Kovenan, dan pembatasan apa pun
terhadap salah satu atau lebih dari hak-hak tersebut harus memiliki alasan yang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan. Ketika pembatasan semacam itu
dibuat, maka Negara-negara harus menunjukkan kebutuhan mereka dan hanya
mengambil langkah-langkah yang proporsional guna mencapai tujuan-tujuan yang
sesuai dengan hukum untuk menjamin perlindungan yang berkelanjutan dan efektif
terhadap hak-hak yang diakui dalam Kovenan, Pembatasan-pembatasan tidak boleh
diterapkan atau dilakukan dengan cara yang dapat melemahkan esensi suatu hak
yang diakui oleh Kovenan” (CCPR/C/21/Rev.1/Add.13, General Comment No. 31 (80)
Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the
Covenant.).
Prinsip pembatasan
yang hampir sama juga dianut oleh konstitusi kita. Pasal 28J UUD 1945,
merumuskan prinsip-prinsip pembatasan sebagai berikut: (i) ditetapkan dengan
undang-undang; (ii) penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; (iii)
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral; (iv) nilai-nilai agama;
(v) keamanan; dan (vi) ketertiban umum dalam suatu demokratis. Prinsip-prinsip
pembatasan ini juga harus diterapkan dengan cara yang tidak melemahkan esensi
suatu hak yang diakui oleh UUD. Itu artinya, adanya suatu undang-undang tidak
dapat dijadikan “excuse” untuk melanggar satu atau lebih hak yang diakui oleh
UUD. Pasal 28J dengan demikian tidak dapat digunakan secara serampangan untuk
membenarkan pelanggaran hak-hak yang diakui oleh UUD melalui sebuah
Undang-Undang. Justru Undang-Undang semacam itu harus dicabut atau
diharmoniskan dengan perlindungan hak-hak yang diakui dalam UUD dan
instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional yang sudah kita ratifikasi.
Secara lebih spesifik,
dalam kaitannya dengan pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi
dengan tujuan untuk penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, khususnya
hak atas kehormatan dan reputasi orang lain (rights to honour and reputations
of others), dapat diberlakukan apabila memang ditujukan secara benar untuk
kepentingan melindungi reputasi atau kehormatan seseorang (protection of a
legitimate reputation interest). Bukan baliknya, digunakan untuk membungkam
kritik. Atau seperti yang dirumuskan dalam “Principles on Freedom of Expression
and Protection of Reputation”, yang dirancang oleh organisasi Article 19, yang
menyatakan: defamation laws cannot be justified if their purpose or effect is
to: (i) prevent legitimate criticism of officials or the exposure of official
wrongdoing or corruption; (ii) protect the ‘reputation’ of objects, such as
State or religious symbols, flags or national insignia; (iii) protect the
‘reputation’ of the State or nations.
Delik Pencemaran Nama
Baik dan Penghinaan
Seperti sudah
disinggung di muka, kriminalisasi atas perbuatan pencemaran nama baik,
penghinaan, hasutan, dan menyebarkan kabar bohong merupakan upaya Negara
melakukan perlindungan terhadap reputasi atau nama baik orang maupun lembaga. Kriminalisasi
atas perbuatan-perbuatan tersebut tertuang mulai dari Pasal 310, 311 dan 316
KUHP, 207 dan 208 KUHP hingga Pasal 154-156 KUHP dan Pasal 160-161 KUHP. Yang
dilindungi dengan kriminalisasi tersebut bukan hanya reputasi orang, pejabat,
lembaga dan simbol negara, tetapi mencegah penghasutan dan kebencian (seditious
libel) terhadap golongan penduduk, dan pemerintah. Sebagian dari Pasal-pasal
ini, di negeri asalnya (Belanda), tidak tercantum. Pasal-pasal tersebut
ditujukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memberangus kaum pergerakan di
zaman itu.
Sekarang pun delik
pencemaran nama baik dan penghinaan tersebut lebih sering disalahgunakan untuk
memberangus kebebesan berekspresi dan menyatakan pendapat. Begitu mudah
wartawan atau media dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik
atau penghinaan. Tidak mengherankan apabila kecenderungan ini mendapat
perhatian dari Komite Hak Asasi Manusia PBB. Menurut Komite Hak Asasi Manusia
PBB, yang memantau hampir diseluruh dunia gejala tersebut, telah terjadi: “the
abuse of legal provisions on criminal libel” (Lihat Resolusi 2000/38, 20 April
2000. para.3.). Maka untuk alasan inilah, dewasa ini, sudah semakin banyak
negara-negara yang telah meninggalkan tindak pidana menyerang reputasi dan
kehormatan; mereka telah menghapus defamation, slander, insult, false news
(kabar bohong) sebagai tindak pidana dalam hukum pidananya.
Makanya Komite Hak
Asasi Manusia PBB untuk Hak-hak Sipil dan Politik berulang-ulang sudah
menghimbau agar Negara-negara Pihak dari Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik
segera meninjau kembali pemberlakuan sanksi penjara bagi tindak pidana
penghinaan atau pencemaran nama baik. Begitu pula dengan Pelapor Khusus PBB
untuk Kebebasan Menyatakan Pendapat dan Ekspresi, juga memberi penilaian bahwa
pemenjaraan bukanlah sanksi yang absah bagi tindak pidana pencemaran nama baik
atau penghinaan (imprisonment is not a legitimate sanction for defamation and
libel) (Lihat Promoting and protecting of the right to freedom of opinion and
expression, UN Doc. E/CN.4/1999/64, 29 Januari 1999, para 28.). Dalam
laporannya tahun 2000 dan 2001, Pelapor Khusus PBB tersebut kembali
mengingatkan Negara-negara agar menghapus sanksi pemenjaraan untuk tindak
pidana penghinaan atau pencemaran nama baik.
Sejalan dengan kecenderungan internasional tersebut, sudah saatnya pula
bagi kita sekarang untuk meninjau dan menghapus sanksi pemenjaraan bagi tindak
pidana penghinaan atau pencemaran nama baik. Tidak proporsional antara “harm”
dan “sanction”. Jelas penerapan sanksi pemenjaraan untuk tindak pidana
pencemaran nama baik atau penghinaan, tidak memberikan perlindungan dan
kepastian hukum yang adil. Apalagi tindak pidana ini sering disalahgunakan oleh
memiliki power yang besar dalam menghadapi kritik. Dengan demikian, delik pencemaran
nama dan penghinaan dalam KUHP kita saat ini bertentangan dengan hak asasi
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar